Blog

Bagaimana Jika Ku Tak Disukai

“The courage to be happy also includes the courage to be disliked” – Ichiro Kishimi

Semua orang pasti ingin disukai. Well, mungkin ga semua… Tapi, kebanyakan? Setidaknya pada level tertentu.

Keinginan untuk disetujui, dihargai, dan diterima oleh orang lain adalah bagian normal dari menjadi manusia. Siapa sih yang nggak mau merasa diterima dan dihargai? Menjadi disukai terasa menyenangkan. Research membuktikan bahwa perasaan disukai memicu dopamine di otak, si “hormon bahagia”. Sebaliknya perasaan tidak disukai terasa seperti diasingkan, ditolak, dan itu nggak enak rasanya. Keinginan untuk disukai itu adalah (salah satu) akar dari budaya sungkan dan nggak enakan, which is normal. Sama sekali bukan hal yang buruk untuk punya rasa sungkan dan nggak enakan. However hal ini menjadi nggak sehat ketika kita menjadi pushover yang melakukan apapun untuk membahagiakan orang lain meskipun dengan mengorbankan kebahagiaan kita sendiri.

Beberapa hal yang dulu pernah aku lakukan ketika aku mengorbankan kebahagiaanku demi untuk disukai:

  • Pinjamin uang ke teman meskipun hutang sebelumnya belum dia kembalikan, dan aku tau dia nggak akan ngembaliin yang kali ini. Karena aku nggak mau kehilangan teman.
  • Ketika mantan pacar ketauan selingkuh, aku yang minta maaf karena merasa nggak cukup baik baginya, dan ketika dia minta balikan aku pun mengiyakan. Karena aku takut kehilangan orang yang “menyukaiku”
  • Bela-belain jemput teman naik motor panas-panas ditengah kemacetan meskipun arah rumahnya jauh bertolak belakang dari tujuan. Diminta antar kesana kemari aku pun iya-iya aja.

Dan betapa pun kerasnya usahaku untuk menjadi disukai ternyata ada aja tuh orang yang nggak menghargai aku, yang ngomongin di belakang, yang seenaknya minta tolong ini itu karena mereka tahu aku nggak bakal nolak. Aku jauh dari rasa bahagia. Seringkali aku memanipulasi persepsi orang lain demi untuk mendapatkan validasi. Pura-pura tersenyum dan bilang “nggak pa pa” meskipun dalam hati marah sekali. Ciri-ciri tingkat self-esteem dan self-confidence dibawah normal. Aku jadi nggak bisa jadi diri sendiri, saking khawatirnya nggak disukai.

Apakah kamu juga seperti itu? Kalo nggak, syukurlah. Jangan jadi seperti itu. Menjadi people pleaser itu melelahkan. Physically and emotionally.

Entah kapan aku akhirnya menyadari bahwa ternyata aku nggak butuh disukai untuk menjadi bahagia. Of course it’s good when we are liked. Tapi dengan nggak disukai pun kita akan tetap bisa carry on with our lives dan tetap bahagia. Mustahil untuk membuat semua orang suka sama kamu. Apapun yang kamu lakukan, betapa pun baiknya kamu, akan selalu ada orang yang nggak suka. Dan itu nggak pa pa. Dengan menetapkan mental “nggak pa pa” di pikiran dan hati kita, lama-lama kita akan merasa B aja ketika ada yang nggak suka. Dan ketika kita sudah sampai di level nyaman dengan ketidaksukaan orang lain kepada kita, rasanya membebaskan sekali. Bebas menjadi diri sendiri tanpa khawatir akan opini orang lain. Bebas mengekspresikan apa yang ada di pikiran kita, termasuk kekuatan untuk berkata “tidak” ketika kita memang tidak mau.  Daripada mikirin gimana caranya disukai semua orang, lebih baik gunakan energi dan waktu kita untuk fokus kepada perbaikan diri, lepas dari orang lain akan suka atau tidak. Kita tetap bisa berbuat baik tanpa harus mengorbankan kebahagiaan kita. People can choose to stay or leave. If the leave, then they don’t deserve you.

 It’s not your job to like me–it’s mine.” – Byron Katie